Bangsa Indonesia memiliki latar belakang budaya dan tradisi yang beragam macamnya. Dari Sabang sampai Merauke memiliki ciri khas adatnya masing-masing. Mulai dari kuliner, pakaian, sampai kepercayaan tertentu. Kepercayaan itu sendiri sudah ada sejak Islam belum sampai ke bumi Nusantara atau setelah Islam berkembang di Indonesia. Di antara kepercayaan tersebut yaitu jimat-jimat yang beredar di masyarakat umum. Jimat tersebut dipergunakan oleh pemiliknya dengan berbagai macam anggapan tertentu. Ada jimat yang dianggap mampu membawa keberuntungan. Ada yang dianggap mampu memperlancar usaha dan rezeki. Ada jimat yang dipakai sebagai penolak sihir, santet, bala, dan ‘ain. Bahkan ada jimat yang digunakan agar bisa membuat suami/istri atau orang lain tertarik dengan dirinya, yang lebih dikenal dengan susuk. Jimat sendiri memiliki banyak bentuk, ada yang berupa kalung, cincin, batu, sampai tulisan berbahasa Arab yang berisi ayat Al Qur’an, bahkan tulisan yang tidak bisa dimengerti maknanya.
Perhatian lebih untuk aqidah
Agama Islam adalah agama yang sempurna. Segala sisi kehidupan diperhatikan dan pemeluknya dibimbing oleh syariat yang agung ini. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan Aku telah ridha Islam sebagai agama kalian.” (QS. Al Maa-idah : 3). Maka, seyogyanya seorang muslim yang sejati menjalani hidup ini di bawah pedoman Islam dan mempelajari Islam mulai dari aqidah, ibadah harian, dan hal-hal lain yang menjadi kewajibannya. Karena tidak ada kebahagiaan yang hakiki di dunia ini kecuali dengan berpegang teguh pada tali Allah, yakni agama Islam. Apalagi tentang jimat dan berbagai macam jenisnya yang Islam telah memberikan perhatian khusus dalam masalah ini, karena hal ini sangat terkait dengan sesuatu yang paling berharga, yaitu aqidah.
Pandangan Islam tentang jimat, jampi-jampi, dan susuk
Dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya ruqyah, tamimah, dan tiwalah adalah syirik.” (HR. Ahmad dan Abu Daud, shahih). Tamimah adalah sesuatu yang dikalungkan pada leher anak kecil untuk mencegah penyakit ‘ain (penyakit yang disebabkan oleh pandangan mata orang yang dengki), sementara ruqyah adalah bacaan atau jampian yang dibacakan pada orang sakit, sedangkan tiwalah adalah sesuatu yang dianggap dapat menjadikan seorang istri mencintai suaminya atau sebaliknya.
Berbagai daerah di Indonesia memiliki nama yang berbeda-beda untuk istilah-istilah di atas. Ada yang menyebut jimat, hizb, dan rajah untuk tamimah. Ada yang menyebut jampian dan mantra untuk ruqyah. Ada yang menyebut susuk, pelet, pengasihan, dan pelarisan untuk tiwalah. Apapun namanya hakikatnya tetap sama, semuanya adalah bentuk kesyirikan kepada Allah. Ditambah, secara logika jimat tersebut tidak mampu mendatangkan manfaat atau mencegah bahaya apapun. Menjadikan sesuatu sebagai sebab yang tidak ditetapkan oleh syariat sebagai sebab dan tidak masuk akal secara logika maka itu adalah kesyirikan.
Adapun yang mampu mendatangkan manfaat dan mudharat hanya Allah Ta’ala semata. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Jika Allah menimpakan sesuatu kemudaratan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagimu, maka tidak ada yang dapat menolak karunia-Nya.” (QS. Yunus : 107). Maka seorang muslim wajib memohon pertolongan dan berlindung kepada pencipta alam semesta, penguasa langit dan bumi, zat yang menghidupkan dan mematikan, yaitu Allah Ta’ala.
Hukuman bagi pelakunya
Pemakai jimat, mantra, susuk, dan segala jenisnya merupakan pelaku kesyirikan. Dan kesyirikan tentu saja merusak aqidah dan tauhid seorang muslim, serta merupakan dosa yang paling besar. Jika pelakunya tidak bertobat dan berhenti dari kesyirikan sampai ajal menjemput, maka Allah Ta’ala tidak akan mengampuni dosanya, dan Allah Ta’ala akan memasukkan ia ke dalam neraka jahanam dan kekal di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga dan tempatnya adalah neraka.” (QS. Al-Maa-idah : 72), dan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa di bawah syirik, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. AnNisaa : 48). Inilah bahaya terbesar dari kesyirikan dan hukuman yang sangat pedih bagi pelakunya.
Hukuman di dunia bagi pengguna jimat, Allah Ta’ala akan meninggalkan urusannya dan menyerahkannya kepada jimat yang tidak punya kuasa apa-apa. Dalam hadits marfu’ dari Abdullah bin ‘Ukaim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang menggantungkan sesuatu (sebagai jimat dengan anggapan benda tersebut bermanfaat), maka Allah serahkan urusannya kepadanya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi, hasan). Apabila Allah Ta’ala telah berlepas diri dan menyerahkan urusan tersebut kepada selain-Nya, maka pasti akan binasa dan hancur. Ini sebagai hukuman dan penghinaan dari Allah Ta’ala kepada pelaku kesyirikan.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengancam para pengguna jimat dalam hadits riwayat Imam Ahmad, beliau berpesan,“Hai Ruwaifi’, semoga engkau berumur panjang, oleh karena itu sampaikan kepada manusia bahwa barang siapa yang menyimpul jenggotnya, atau memakai kalung dari tali busur panah, atau beristinja dengan kotoran binatang atau tulang, maka sesungguhnya Muhammad berlepas diri dari orang tersebut.” (diriwayatkan juga oleh Nasai dan Abu Dawud, shahih). Memakai kalung dari tali busur panah adalah kebiasaan orang Arab Jahiliyah untuk mencegah ‘ain dan bahaya, sebagai jimat bagi unta mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari semua dosa yang disebutkan dalam hadits di atas. Tentu saja hal ini menunjukkan bahwa dosa terebut, terutama memakai jimat adalah dosa besar.
Berdasarkan ayat dan hadits di atas, jelaslah bagi kita bahwa mamakai jimat, jampi-jampi, dan susuk, adalah kesyirikan yang tergolong dalam dosa yang paling besar. Pelakunya wajib untuk bertaubat dan berhenti dari perbuatannya sebelum kematian datang menjemputnya dan pintu maaf Allah Ta’ala sudah tertutup. Akhirnya tinggallah penyesalan yang tiada guna dan azab pedih api neraka yang siap menjilat dirinya.
Ruqyah yang diperbolehkan
Ruqyah yang dilarang pada hadits Ibnu Mas’ud di atas adalah jika ruqyah tersebut mengandung unsur kesyirikan. Namun, jika tidak mengandung kesyirikan maka ruqyah diperbolehkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits ‘Auf bin Malik radhiyallaahu ‘anhu beliau bersabda, “Perlihatkanlah ruqyah kalian kepadaku, tidak mengapa ruqyah selama tidak mengandung syirik.” (HR. Muslim). Ruqyah yang tidak mengandung syirik yaitu bacaan ayat Al-Qur’an, lafazh do’a Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau doa lain yang hanya memohon kepada Allah Ta’ala semata. Dalam hadits Buraidah bin Hushoin, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada ruqyah (yang lebih bermanfaat) kecuali pada penyakit ‘ain dan sengatan kalajengking.” (HR. Bukhari dan Muslim). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga meruqyah dirinya ketika hendak tidur malam dengan meniup telapak tangan, dan diusapkan ke tubuh yang bisa dicapai. Selain itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah meruqyah orang sakit dan diruqyah, sebagaimana malaikat Jibril pernah meruqyah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Berikut ini beberapa syarat diperbolehkannya suatu bacaan sebagai ruqyah, baik berupa ayat Al Qur’an atau doa-doa :
- Meyakini bahwa ruqyah tersebut bisa bermanfaat atas izin Allah Ta’ala. Tidak boleh menganggap bahwa bacaan ruqyah tersebut mampu menyembuhkan dengan kemampuannya sendiri, karena hal ini terlarang dan tergolong kesyirikan.
- Bacaan ruqyah tidak menyelisihi syariat, seperti berdoa kepada selain Allah Ta’ala, meminta bantuan jin, dan perkara lain yang dilarang oleh syariat..
- Lafazh-lafazh ruqyah tersebut dapat dipahami maknanya. Oleh karena itu tidak diperbolehkan ruqyah berupa bacaan mantra, sulap, dan sihir.
Penulis : Agung Panji Widianto, S.Ked (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)
Pemurojaah : Ust Afifi Abdul Wadud, BIS